Setelah Satu Bulan Berpuasa

PUASA baru saja meninggalkan kita semua. Berakhir pula proses belajar “menahan” diri. Tidak saja belajar menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga menahan diri dari seks, menahan diri dari perbuatan-perbuatan maksiat lainnya.

Satu bulan yang lalu, Allah mengajarkan kepada kita untuk senantiasa merasakan getaran akan kehadiran Allah dalam setiap gerak laku keseharian kita. Dalam laku berpuasa, seseorang bisa saja secara sembunyi-sembunyi makan dan minum, namun karena ada keyakinan akan kehadiran Tuhan, ia tidak melakukan hal demikian.

Selama satu bulan itu, kita diajarkan untuk mampu respek dan empati atas mereka yang kekurangan, mereka yang membutuhkan, mereka yang menjadi korban ketidakadilan, mereka yang tidak bisa menikmati kebebasan sebaga warga negara, dan mereka yang menjadi korban kezaliman.

Selama satu bulan itu juga, umat Islam diajarkan untuk membungkus segala kesombongan, iri hati, keserakahan dan hal-hal lain yang menyebabkan sakitnya kemanusiaan kita. Sehingga kita mampu mencapai “kewaskitaan” sebagai manusia.

Pada zaman dahulu, proses ini dilakukan dengan cara bertapa. Proses pembersihan pada sisi batin manusia ini, dilakukan dengan mengurangi tidur, makan, hubungan seks, dan menyendiri dalam suasana hening. Proses ini merupakan upaya untuk mencari makna hakiki dari hidup ini. Tidak jarang, mereka yang “sampai” atau selesai melakukan “ritual” ini, akan menjadi seorang yang mampu mengarifi kehidupan ini dengan sangat bijak.

Namun demikian, proses “menyendiri” dalam hening itu, bukan berarti ahir dari perjalanan hidup kita. Justru kemudian, pasca itu kita diajak untuk “turun gunung” di dunia dangan ragam persoalan duniawiahnya. Sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad, ketika masa “menyendiri”-nya sudah selesai dengan diberikan mandate sebagai utusan Allah, maka Nabi pun meleburkan diri dengan masyarakat ramai.

Memang, terkadang kita merasa kurang mampu untuk “dekat” dengan Tuhan, dikala suasana hiruk pikuk. Seperti pada saat shalat tahajut ditengah heningnya malam hari, kita merasakan kedalaman bersama Tuhan.

Dulu, ada juga seorang alim yang merasa malu karena setiap orang memuji kealimannya. Karena banyak orang yang memujinya, ia merasa tidak nyaman dalam beribadah. Pujian itu membuatnya ragu, apakah ia tulus apa tidak dalam menyembah Allah.

Baginya, penghambaan kepada Tuhan dibutuhkan totalitas ketulusan, tanpa campur adanya riya yang datang dari pujian orang banyak. Lalu, ia pun mencuri ayam. Orang satu kampung pun ramai-ramai mengeroyoknya.

Statusnya dimasyarakat pun bergeser, dari orang yang alim menjadi pencuri ayam. Namun, baginya, status itu justru memperkuat romantisme hubungannya dengan Tuhan. Semakin orang tidak percaya dengan kealimannya, ibadah yang dilakoninya semakin tidak memiliki beban karena di puji. Tembok penghalang antara dia dengan Tuhan, dirobohkan, meski ia harus menanggung status sebagai “pencuri ayam”. Karena baginya, hubungan dia dengan Tuhan itu sangat personal, sangat pribadi.

Meskipun demikian, bukan berarti suasana “pasar” juga menghalangi keinginan seseorang untuk bisa berkhusuk ria bersama Tuhan. Justru di tengah-tengah keramaian itu, kita akan mampu melihat “wajah” Tuhan yang sebenarnya. Di pasar-pasar, di kantor pajak, di kantor bea cukai, di pengadilan, di kejaksaan, di kepolisian, di kampus, dan tempat hiruk pikuk lainnya, seseorang akan mengalami proses pergulatan menghampiri Tuhan lebih utama ketimbang di masjid atau di mushalla.

Begitu pula kita saat ini. Setelah melalui proses panjang selama satu bulan penuh, kita dihadapkan kembali oleh hiruk pikuknya dunia. Setelah satu bulan kita dididik dan diajarkan oleh Tuhan langsung, tentang hidup ini, maka pasca puasa kita dihadapkan pada kehidupan “yang sesungguhnya”. Bertambahkah kesabaran kita? Bertambahkah kedewasaan kita? Makin kuatkah kepekaan sosial kita? Semakin bertambahkah kejujuran kita? Dan seterusnya.

Namun demikian, yang terpenting dari hal itu semua adalah kita tidak boleh merasa puas atas capaian yang kita lakukan puasa kita tahun ini. Kita tidak boleh merasa “sudah lulus” selama satu bulan berpuasa di tahun ini. Sehingga wajar, jika kemudian kita bersedih di ujung akhir Ramadhan, karena tidak memiliki kepastian apakah bisa berjumpa kembali puasa di tahun mendatang. Wallahu a’lam Bi Al-Shawab. ***

Baca: Tentang Puasa Kita

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *